Informasi Lowongan Kerja

AsMan
kireinahana. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

Doa Bunda


Alhamdulillah, antologi ketigaku terbit juga... ;)
bisa diintip juga di: http://www.indie-publishing.com/archives/1412


Judul : Doa Bunda
No. ISBN : 978-602-7770-32-4
Penulis : Para Penulis Grup PEDAS
Tahun terbit : 2012
Dimensi : viii + 227 hlm; 14 x 21 cm
Jenis Cover : Soft Cover
Kategori : Antologi Cerpen
Harga : RP 38,000 + ongkir
Stok : POD | (Order by SMS >> 085773518074 : Nama, Alamat, Judul, Jumlah pesanan)
Antologi Cerpen Doa Bunda berisikan cerpen-cerpen hasil Lomba Menulis PEDAS Event III bertema―Doa Bunda. PEDAS-Penulis dan Sastra adalah grup kepenulisan di Facebook yang dibangun akhir Mei 2012. PEDAS terlahir karena kepedulian terhadap para penulis pemula yang mempunyai semangat dan gairah besar dalam belajar menulis dan merangkai kata-kata indah.
“Demi Tuhan, engkau adalah keajaiban. Sekali-kali adamu tak pernah kusesalkan. Bahkan, akan selalu kupertikaikan, bila orang-orang menating ludah, mencercamu sebagai makhluk kecil yang diharamkan.” (Surat Ibu – Moon Theera)
“Jangan pernah menangis dan tetaplah percaya, takdir Tuhan itu indah….” Ibu meraih wajahku dan lebih menegaskan kalimat terakhirnya, “…meskipun itu hal terburuk bagimu.” (Tanpa Lilin – Nita Java Yulistiana)
“Kau tahu, Bu? Ikatan batin laiknya sengatan listrik. Sengatnya menggertap hati sekalipun beribu kilometer jarak membentang. Tepat saat tak kudapati lagi tegar memagutku, kau menghubungiku. Ruahlah sudah sesengguk tangis beriring hambur selaksa kata. Aku tak mampu mencekatnya lebih lama lagi.” (Catatan Doa di Penggalan Napak Tilas – Vinny Erika Putri)
“Doa tulus yang keluar dari mulut seorang ibu untuk anaknya bahkan mampu mengguncangkan arasy-Nya. Semoga hanya doa-doa yang indah yang selalu terucap dari lisanku, lisan Ibu, dan lisan semua ibu, sebagai pengiring langkah anak-anaknya.” (Pengiring Setiap Langkah – Erni Misran)
“Mendadak, dadaku sesak. Semua kenangan bersama Ibu berkelebat di ingatanku. Tiba-tiba, aku rindu bertemu Ibu. Sudah lama sekali aku tak melihat wajah Ibu, apalagi memeluknya. Tak sepantasnya aku membenci Ibu.” (Namaku dalam Doa Ibu – Ilyaz Tanbeg)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Renungan Pagi

pagi ini, ada yang mengusik ketenanganku. ia mengingatkanku pada waktu yang telah berlalu dan kusia-siakan jua. naluri mengutuki raga sendiri. entah mengapa sesal dan bimbang masih enggan beranjak dari hadapku!

ah, sudahlah...
tak ada gunanya pula terus meratapi yang telah berlalu. karena waktu akan terus berjalan tanpa ada kemungkinan tuk kembali. cukup kumenyadari bahwa setiap detik waktu terlalu berharga untuk kulewati dengan hal-hal tak berguna.

kini, aku harus melakukan yang terbaik. jangan ada lagi waktu yang terbuang sia-sia. tak perlu terlarut dalam penyesalan, tak usah menghawatirkan masa depan. jangan biarkan semangatku padam, tetap optimis dan yakin menggapai asa.

lä haula walä quwwata illä billäh...
kusadari pula, manusia tak akan selalu ada di sampingku. tak kan kugantungkan diri untuk 'berbagi' pada manusia, karena mereka tak bisa selalu ada untukku. tak semua orang bisa ada tepat di saat aku butuhkan.
innallaha maana..
hanya DIA yang paling setia, DIA yang akan selalu ada, hanya kepada DIA aku bergantung. benar, kualami sendiri: cuma DIA, hanya DIA... bukan manusia!


pada 23 Januari 2013 pukul 7:14

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Lukisan Pagi

Selimut putih itu hadir kembali
Menghujani setiap titik ruang kehidupan
Hamparan petak-petak hijau penyambung nyawa tersamarkan
Dingin, terselip diantara desir-desir angin
Segar, berkat malam terganti sang fajar
Hei, lihat itu!
Butir-butir embun berkilauan di dedaunan
Pijakan pun kini lembap, tak lagi gersang
Alhamdulillah, ya Rabb
Raga ini masih bisa membuka mata
Menikmati lukisan pagi seindah ini
Setelah lelap mendekap di malam gelap
:)


pada 22 Januari 2013 pukul 6:16

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Diantara Putih dan Abu-Abu

Putih, dahulu.
Sebelum terkena tetesan titik hitam
Bahkan mungkin kali ini titik itu tlah menjalar
Menjadi sebuah alur resah dan sesal

Oh, atap...
Tak bisakah ia gantungkan harapnya padamu?
Hai, lantai...
Tak dapat juakah raganya berpijak dengan suci padamu?
Dan kau, ruang-ruang hampa...
Tiada isyarat terbaca dari desir-desir peringatanmu
Tiada bisikan terdengar dari gundahmu atas salahnya

Namun ia, sang putih...
Kini abu
Samar.

-Maharanie,130113-

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Dalam Hujan: Sendu dan Harapan

Separuh nyawaku pergi seiring berlalunya si kuda besi merah. Kali ini kubiarkan saja ia menghilang bersama rengkuhan titik-titik air langit.
Jika kau bertanya, kemana kusembunyikan bibit-bibit aliran sungai yang dulu kerap bersarang di pipi ini? Aku tak dapat menjawabnya.
Karena ia masih ada, namun kubiarkan saja membusuk di pelupuk mata. Menunggu saat kau datang menggenapi nyawaku kembali, dan rengkuhan hujan itu berganti dekapan indah sang pelangi.
Sekuat tenaga kuyakini ini tak akan memakan seluruh sisa usiaku. Kupercayai sepenuh hati, IA pasti akan segera mengulurkan tangan cinta-Nya.
Hingga kau dan aku akhirnya tergenapi pula menjadi KITA...


pada 6 Januari 2013 pukul 17:37

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

L.O.V.E

Ahhh.....
Cinta.
Untuk apa ia tercipta?
Dukakah? Sukakah?
Seperti apa ia ada?
Tangiskah? Tawakah?
Haru itu seolah nyata. Mencipta cinta dari kumpulan air mata.
Sementara di waktu yang tlah berlalu, ia tercipta dari derai tawa membahana.
Entahlah...
Mungkin ia sebuah maya merupa fana, yang tak kan karam terhempas masa.


pada 30 Desember 2012 pukul 21:52

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tuhan, Mengapa???

Hangat...
Ia mengalir perlahan menyusuri setiap lekuk pori di pipi
Dalam remang anganku kembali pada gemerlap pekat malam itu
Tak ada riuh riang dalam hati
Mengapa?
Mungkin terhanyut kabut kecurangan
Atau karena tak segemerlap manusia lainnya?
Hingga akhirnya fajar menyibak pekat
Warna-warni gemerlap terakhir dipertunjukkan
Kembali riuh bahagia tersirat di sana
Namun raga ini masih terpaku di poros yang sama
Menatap jalan di sudut sana dengan hampa
Ah, dunia masih biru...
Belum kutemukan warna lain di sana!
Tuhan...
Aku kenapa???


pada 22 Desember 2012 pukul 16:50

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS